Latar Belakang
Perkembangan
anak merupakan hal yang penting untuk kita pelajari dan kita pahami selaku
calon pendidik. Banyak para pendidik yang belum memahami perkembangan -
perkembangan anak. Sehingga masih ada pendidik yang menerapkan sistem
pembelajaran tanpa melihat perkembangan anak didiknya. Hal ini akan berakibat
adanya ketidakseimbangan antara sistem pembelajaran dengan perkembangan anak
yang akan menyulitkan anak didik mengikuti sistem pembelajaran yang ada. Dengan
mengetahui proses, faktor dan konsep perkembangan anak didik kita akan mudah
mengetahui sistem pembelajaran yang efektif, efisien, terarah dan sesuai dengan
Perkembangan anak didik. Untuk mengembangkan potensi anak didik dan menciptakan
generasi - generasi masa depan yang berkualitas, maka diperlukan adanya
pemahaman tentang perkembangan anak didik. Dengan demikian, sebagai pendidik
kita diharuskan mengetahui dan memahami perkembangan peserta didik.
Pendidikan
pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik untuk
membantu perkembangan peserta didik dan membantu membentuk serta mengembangkan
nilai – nilai, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan tertentu dari
generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu pendidikan
perlu disesuaikan dengan proses dan tahapan perkembangan.
Domain Perkembangan
Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan membantu perkembangan peserta didik. Oleh karena itu pendidikan perlu disesuaikan dengan proses dan tahapan perkembangan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas individu dalam rentang usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual).
Prinsip perkembangan yang perlu dipahami untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berbasis pada perkembangan yaitu :
Perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional merupakan domain yang saling berkaitan. Perkembangan dalam satu domain dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pada domain lainnya.
Perkembangan terjadi dalam urutan yang relative teratur dengan kemampuan keahlian dan pengetahuan yang terbentuk kemudian akan didasarkan pada keahlian, kemampuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Pengetahuan tentang perkembangan khas dalam rentang usia ini bisa menjadi kerangka umum untuk menjadi pedoman guru dalam mempersiapkan lingkungan belajar.
Variasi individual mengkarakterisasi perkambangan anak. Setiap anak adalah individu yang unik dan semua punya kekuatan, kebutuhan, dan minat masing-masing. Mengenali variasi individu ini merupakan aspek utama untuk menjadi guru yang kompeten.
Perkembangan dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultural yang beragam, guru perlu memahami bagaimana konteks sosiokultural seperti etnis, kemiskinan yang mempengaruhi perkembangan anak. Guru perlu mempelajari kultur mayoritas anak jika berbeda dari kulturnya sendiri.
Anak-anak adalah pembelajar aktif dan harus didorong untuk mengkonstruksi pemahaman dunia di sekitarnya. Anak-anak memberi kontribusi proses belajar mereka sendiri saat mereka berusaha untuk memberi makna atas pengalaman keseharian mereka.
Perkembangan akan meningkat jika anak diberi kesempatan untuk mempraktikkan keahlian baru dan jika anak merasakan tantangan di luar kemampuan mereka saat itu.
Anak-anak akan berkambang dengan amat baik dalam konteks komunitas dimana mereka aman dan dihargai kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka merasa aman secara sikologis.
Perkembangan Fisik
Proses belajar berlangsung secara fisik dan mental. Anak melakukan berbagai aktivitas fisik sebagai pengalaman belajar. Kondisi panca indra, normalitas anggota tubuh, asupan gizi dan keadaan kesehatan secara menyeluruh mempengaruhi proses belajar. Seorang siswa yang sedang lapar tidak dapat berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas belajar, karena perhatiannya lebih terpusat pada perasaan lapar yang dirasakannya. Demikian juga dengan kondisi panca indra. Penglihatan, pendengaran sangat diperlukan dalam belajar. Gangguan pada fungsi panca indra menyebabkan perhatian individu tidak optimal dalam belajar. Perkambangan fisik motorik yang kurang sempurna dapat menyebabkan gangguan belajar pada siswa.
Demikian juga halnya dengan perkembangan fisik yang terlalu cepat atau terlambat dari ukuran anak-anak seusianya akan dapat mempengaruhi perilaku anak belajar diantara sebayanya. Masa pubertas berhubungan dengan perubahan hormon di dalam diri individu yang berakibat pada perubahan fungsi-fungsi fisiologis. Akibatnya para siswa di usia pubertas sering mengalami gangguan fisik dalam belajar. Misalnya, perubahan bentuk dan berat badan, suara yang membesar, gerakan fisik yang semakin lamban, mudah mengantuk, perasaan tidak nyaman ketika mengalami haid, semua ini memberi pengaruh terhadap suasana belajar siswa. Guru perlu menyadari bahwa keadaan fisik dan semua perubahan-perubahan yang dialami siswa dalam proses perkembangannya mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh karena itu guru perlu memberi informasi kepada siswa tentang hal ini sehingga mereka dapat memahaminya secara benar dan siap secara mental menghadapinya. Sejalan dengan ini guru juga perlu memperhatikan keadaan fisik ini dalam manajemen kelas. Dengan cara ini faktor-faktor fisik yang kemungkinan akan menghambat proses belajar siswa dapat dikendalikan sehingga tidak sampai berpengaruh secara meluas.
Implementasi dalam PBM
Menempatkan anak didik yang fisiknya kecil di bangku paling depan.
Menempatkan anak didik yang pendengarannya kurang di bangku paling depan.
Menempatkan anak didik yang penglihatannya kurang di bangku paling depan.
Memberikan pertanyaan mendadak kepada siswa yang mengantuk.
Memberi perlakuan yang sama kepada semua anak didik, tidak terkecuali anak didik yang fisiknya kurang.
Memberi informasi kepada anak didik tentang gangguan fisik yang sering terjadi pada masa usia pubertas mereka sehingga mereka dapat memahaminya secara benar dan siap secara mental menghadapinya.
Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah proses perubahan kemampuan individu dalam berpikir. Membahas tentang perkembangan kognitif berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berpikir atau proses kognisi atau proses mengetahui. Dalam psikologi, proses mengetahui dipelajari dalam bidang psikologi kognitif. Bidang ini dipelopori oleh J.J. Piaget, yang terkenal dengan teori pentahapan kognitifnya yang disebut perkembangan kognitif.
Berdasarkan akar teoritis yang dibangun oleh Piaget, beberapa penulis mendefinisikan kognitif dengan redaksi yang berbeda-beda, namun pada dasarnya sama, yaitu aktivitas mental dalam mengenal dan mengetahui tentang dunia. Neisser (1967) dalam Morgan, et al. (1986), mendefinisikan kognitif sebagai proses berpikir dimana informasi dari panca indera ditransformasi, direduksi, dielaborasi, diperbaiki, dan digunakan. Secara ringkas, Morgan, dkk.. (1986) menyatakan bahwa kognitif sebagai pemrosesan informasi tentang lingkungan yang dipersepsikan melalui panca indera. Menurut Santrock (1986), kognitif mengacu kepada aktivitas mental tentang bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, disimpan dan ditransformasi, serta dipanggil kembali dan digunakan dalam aktivitas kompleks seperti berpikir.
Piaget mengatakan bahwa untuk memahami dunianya secara kognitif individu akan mengelompokkan perilaku yang terpisah ke dalam sistem kognitif yang lebih tertib dan lancar, pengelompokan atau penataan perilaku ke dalam kategori-kategori. Proses mental ini disebut dengan Organisasi. Penggunaan Organisasi akan dapat meningkatkan memori jangka panjang. Mekanisme bagaimana individu bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya disebut Ekuilibrium. Pergeseran ini terjadi saat individu mengalami kognitif disekuilibrium dalam usahanya untuk memahami dunianya. Pada akhirnya, individu memecahkan konflik dan mendapatkan keseimbangan pemikiran.
Perkembangan kognitif berlangsung dalam urutan empat tahap yaitu tahap sensori motor, tahap oprasional, tahap oprasional kongret, oprasional formal. Tahapan-tahapan perkembangan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Periode Sensorimotor (Usia 0–2 Tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai.
Periode Pra-Operasional (Usia 2–7 Tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Periode Operasional Konkrit (Usia 7–11 Tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan : kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi : kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering : anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility : anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi : memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme : kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Periode Operasional Formal (Usia 11 Tahun Sampai Dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Implementasi terhadap PBM:
Bahasa dan cara pandang anak berbeda dengan orang dewasa. Untuk itu, dalam mengajar guru alangkah baiknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
Peserta didik akan belajar lebih baik apabila dapat menyesuaikan lingkungan dengan baik. Pendidik harus membantu agar peserta didik dapat berinteraksi dengan lingkungan secara optimal.
Materi yang harus dipelajari peserta didik sebaiknya yang menurut mereka baru tapi tidak begitu sulit untuk menerimanya.
Memberi peluang agar peserta didik dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
Perkembangan Sosio-Emosional
Salah satu perkembangan yang dialami individu adalah perkembangan sosio-emosi. Hal tersebut muncul seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh individu. Dalam perkembangan sosio-emosi, khususnya pada masa bayi, memiliki hubungan dengan perihal keterikatan (attachment), peran ayah sebagai pengasuh anak, tempat pengasuhan anak (day care), dan emosi.
Teori yang cukup komprehensif membahas konteks sosial dimana anak berkembang dan perubahan utama dalam perkembangan sosioemosional merupakan dua teori kontemprorer yang akan dibahas berikut ini.
Teori Ekologi Bronfenbrenner
Teori ini dikembangkan Bronfenbrenner (1917-2000) yang mengemukakan lima sistem lingkungan yang merentang interaksi interpersonal sampai kepada kultur yang lebih luas. Sistem tersebut adalah:
Mikrosistem adalah dimana individu menghabiskan waktu paling banyak seperti keluarga, tetangga, guru, teman sebaya dan orang lain.
Mesosistem adalah kaitan antar sistem. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman di rumah dengan pengalaman di sekolah.
Ekosistem adalah sistem yang terjadi ketika pengalaman di setting lain (murid tidak aktif) mempengaruhi pengalaman siswa dan guru dalam konteks mereka sendiri.
Makrosistem adalah kultur yang lebih luas, mencakup etnis, adat istiadat, faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak.
Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Sekarang ini merupakan generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi dengan computer dan di dalam kota yang semrawut yang tidak kenal batas desa dan kota.
Oleh karena itu dalam mendidik anak perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pandanglah anak sebagai sosok yang terlibat dalam berbagai sistem lingkungan dan dipengaruhi oleh sistem itu.
Jalin hubungan sekolah dengan masyarakat baik melalui saluran formal dan informal.
Sadari arti penting komunitas, status sosioekonomi dan kultur dalam perkembangan anak karena konteks yang sangat luas ini mempengaruhi perkembangan anak.
Teori Perkembangan Rentang Hidup Erikson
Menurut Erikson delapan tahapan perkembangan yang harus dilalui seseorang dalam rentang hidupnya adalah sebagai berikut:
Tahap psikososial yaitu kepercayaan versus ketidak percayaan (trust and mistrust) masa bayi usia 0- 2 tahun. Erikson mengartikan masa itu anak semestinya dapat mengembangkan perasaan percaya atau perasaan aman bersama pengasuhnya. Yang penting adalah anak harus melalui tingkat berkembangnya lebih lancar.
Tahap autonomy and shame (kemandirian dan rasa malu) masa usia 2- 3 tahun. Pada usia ini anak mencoba untuk mandiri secara fisik yang memungkinkan kemampuan mereka untuk berjalan, lari tanpa dibantu orang lain lagi. Pada periode inilah kemampuan anak untuk percaya diri dikembangkan, ada rasa malu karena mereka merasa tidak mampu. Dalam hal ini orang tua perlu terus menggugah rasa percaya diri anak bahwa mereka dapat dan boleh menentukan hidup mereka sendiri tanpa tekanan
Tahap inisiatif and guilt (rasa bersalah) masa usia 3- 6 tahun. Pada masa ini anak belajar berekspresi, belajar menertawakan diri, mulai memahami bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada masa ini terletak dasar dalam diri anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat penting pada masa berikutnya. Pada fase ini yang harus diciptakan yaitu identitas diri terutama berhubungan dengan jenis kelamin mereka karena pengaruh kelamin mulai dirasakan secara psikologis. A sense of purpose menurut Erikson anak menjadi tidak terganggu dengan perasaan bersalah. Anak dapat menentukan apakah mereka akan menjadi seperti ayah atau ibu tanpa perasaan bersalah dan anak tidak akan mengalami banyak kegelisahan karena meresa tidak dimengerti.
Tahap mastery and inferiority (penguasaan dan rendah diri) masa usia 6- 12 tahun. Pada masa inilah mereka baru mulai mampu berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka mulai dapat membentuk kelompok. Pada usia ini anak-anak sangat tertarik untuk belajar dan sangat sulit untuk berdiam diri. Anak yang melalui masa perkembangan ini dengan baik akhirnya anak akan memperoleh pelajaran dengan mendapatkan sense of mastery, suatu keyakinan bahwa mereka mampu menguasai masalah yang mereka hadapi. Anak-anak yang kehilangan kesempatan mengembangkan kompetensi mereka maka sense of mastery diganti oleh rasa rendah diri yang berdampak pda masa yang akan datang. Anak yang penuh rendah diri lebih sulit merasakan adanya kemampuan untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang yang penting.
Tahap ego- identity vs role confussion (identitas diri vs kekacauan peran) masa remaja 12- 18/20 tahun. Masa ini adalah sumber utama untuk mengembangkan teori perkembangan psikososialnya. Pada masa ini yang terpenting adalah puncak dari semua yang selama ini dilalui dan akan digunakan untuk mengarungi hidup yaitu menciptakan identitas diri yang benar adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dikumpulkan sampai saat ini dan menggabungkan semuanya menjadi suatu citra diri yang berguna bagi masyarakat. Salah satu faktor penting yang akan menentukan identitas diri adalah hadirnya Role Model yaitu seseorang yang bisa dijadikan contoh. Faktor penting lainnya adanya kejelasan bagaimana melangkah meninggalkan masa kanak-kanak menuju kedewasaan.
Tahap intimacy and isolation (keintiman dan pengasingan) antara masa usia 20- 30 tahun. Pada masa ini sudah dianggap dewasa dan bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan. Pada masa ini mengenal dan mengizinkan untuk mengenal orang lain secara sangat dekat, atau masuk ke hubungan intim sedangkan kegagalan akan membuat terisolasi atau mengisolasi diri dari sekeliling. Keintiman dapat terjadi karena telah mengenal diri dan merasa cukup aman dengan identitas diri yang dimiliki. Jadi, pokoknya Intimacy adalah hubungan dua orang yang sudah matang dan mengenal diri masing-masing dan menciptakan suatu kesatuan yang mengahsilkan karya-karya yang lebih besar.
Perkembangan Sosioemosional
Perkembangan ini berhubungan dengan perkembangan diri, penghargaan diri. Perkembangan ini berhubungan dengan keluarga, teman sebaya, dan sekolah. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa harga diri pada anak adalah dengan menerapkan tiga kunci untuk meningkatkan rasa harga diri yaitu :
Mengidentifikasi penyebab rendah diri dan kompetensi penting bagi diri. Pada anak-anak yang diabaikan keluarga dukungan dari teman dan sekolah untuk meningkatkan kompetensinya akan meningkatkan harga diri anak.
Memberi dukungan emosional dan penerimaan sosial. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang banyak menyalahkan anak, menghina anak, penilaian negative dapat dibantu dengan dukungan emosional ini.
Membantu anak mencapai tujuannya dan berprestasi.
Implementasi terhadap PBM
Pengembangan materi, strategi, sumber, metodologi, dan evaluasi belajar mengajar hendaknya memperhatikan tiga faktor, yaitu faktor pembawaan, lingkungan, dan kematangan.
Perkembangan Moral
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku dimasyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Perkembangan moral menurut pandangan Lawrence Kohlberg adalah sebagai berikut. Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Para pakar perkembangan anak mempelajari tentang bagaimana anak-anak berpikir, berperilaku dan menyadari tentang aturan-aturan tersebut. Minat terhadap bagaimana perkembangan moral yang dialami oleh anak membuat Piaget secara intensif mengobservasi dan melakukan wawancara dengan anak-anak dari usia 4-12 tahun.
Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja:
Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka. Antara lain:
Heteronomous Morality
Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
Autonomous Morality
Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja sama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orang tua dan anak, orang tua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.
Implmentasi terhadap PBM
Perkembangan moral peserta didik dapat dibantu dengan cara mengembangkan dilemma moral. Untuk membangun kerja sama, interaksi saling membantu, memecahkan masalah bersama, dan diperlukan pengembangan kelompok belajar. Pendidik harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan melakukan tanya jawab dan diskusi. Siswa diberikan kesempatan untuk merefleksikan pengalaman-pengalamannya maka peranan guru yaitu menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi siswa untuk mencapai tahap yang lebih tinggi.
Faktor penting dalam perkembangan moral adalah faktor kognitif terutama kemampuan berpikir abstrak dan luas.
Kesimpulan
Secara garis besar, proses perkembangan individu dapat dikelompokan ke dalam tiga domain; proses biologis, kognitif, dan psikososial dimana ketiga domain proses perkembangan tersebut merupakan satu kesatuan yang terpadu dan saling berpengaruh satu sama lain.
Kondisi panca indra, normalitas anggota tubuh, asupan gizi dan keadaan kesehatan secara menyeluruh mempengaruhi proses belajar. Masa pubertas berhubungan dengan perubahan hormon di dalam diri individu yang berakibat pada perubahan fungsi-fungsi fisiologis. Akibatnya para siswa di usia pubertas sering mengalami gangguan fisik dalam belajar.
Perkembangan kognitif anak dan pengalaman belajar ini sangat erat kaitannya dan saling berpengaruh satu sama lain, yaitu perkembangan kognitif anak akan menfasilitasi atau membatasi kemampuan belajar anak, sebaliknya pengalaman belajar anak akan sangat menfasilitasi perkembangan kognitifnya.
Perkembangan ini berhubungan dengan perkembangan diri, penghargaan diri. Empat kunci untuk meningkatkan rasa harga diri yaitu:
Mengidentifikasi penyebab rendah diri dan kompetensi penting bagi diri.
Memberi dukungan emosional dan penerimaan sosial.
Membantu anak mencapai tujuannya dan berprestasi.
Mengembangkan keterampilan mengatasi masalah.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, antara lain: Heteronomous Morality dan Autonomous Morality.
Saran
Untuk mengembangkan potensi anak didik dan menciptakan generasi - generasi masa depan yang berkualitas, maka diperlukan adanya pemahaman tentang perkembangan anak didik. Dengan demikian, sebagai pendidik kita diharuskan mengetahui dan memahami perkembangan dari peserta didik.
Domain Perkembangan
Pendidikan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan membantu perkembangan peserta didik. Oleh karena itu pendidikan perlu disesuaikan dengan proses dan tahapan perkembangan. Artinya, penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada pengetahuan perkembangan khas individu dalam rentang usia (ketepatan usia) dan keunikan anak (ketepatan individual).
Prinsip perkembangan yang perlu dipahami untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berbasis pada perkembangan yaitu :
Perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosional merupakan domain yang saling berkaitan. Perkembangan dalam satu domain dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pada domain lainnya.
Perkembangan terjadi dalam urutan yang relative teratur dengan kemampuan keahlian dan pengetahuan yang terbentuk kemudian akan didasarkan pada keahlian, kemampuan dan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya. Pengetahuan tentang perkembangan khas dalam rentang usia ini bisa menjadi kerangka umum untuk menjadi pedoman guru dalam mempersiapkan lingkungan belajar.
Variasi individual mengkarakterisasi perkambangan anak. Setiap anak adalah individu yang unik dan semua punya kekuatan, kebutuhan, dan minat masing-masing. Mengenali variasi individu ini merupakan aspek utama untuk menjadi guru yang kompeten.
Perkembangan dipengaruhi oleh konteks sosial dan kultural yang beragam, guru perlu memahami bagaimana konteks sosiokultural seperti etnis, kemiskinan yang mempengaruhi perkembangan anak. Guru perlu mempelajari kultur mayoritas anak jika berbeda dari kulturnya sendiri.
Anak-anak adalah pembelajar aktif dan harus didorong untuk mengkonstruksi pemahaman dunia di sekitarnya. Anak-anak memberi kontribusi proses belajar mereka sendiri saat mereka berusaha untuk memberi makna atas pengalaman keseharian mereka.
Perkembangan akan meningkat jika anak diberi kesempatan untuk mempraktikkan keahlian baru dan jika anak merasakan tantangan di luar kemampuan mereka saat itu.
Anak-anak akan berkambang dengan amat baik dalam konteks komunitas dimana mereka aman dan dihargai kebutuhan fisiknya dipenuhi dan mereka merasa aman secara sikologis.
Perkembangan Fisik
Proses belajar berlangsung secara fisik dan mental. Anak melakukan berbagai aktivitas fisik sebagai pengalaman belajar. Kondisi panca indra, normalitas anggota tubuh, asupan gizi dan keadaan kesehatan secara menyeluruh mempengaruhi proses belajar. Seorang siswa yang sedang lapar tidak dapat berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas belajar, karena perhatiannya lebih terpusat pada perasaan lapar yang dirasakannya. Demikian juga dengan kondisi panca indra. Penglihatan, pendengaran sangat diperlukan dalam belajar. Gangguan pada fungsi panca indra menyebabkan perhatian individu tidak optimal dalam belajar. Perkambangan fisik motorik yang kurang sempurna dapat menyebabkan gangguan belajar pada siswa.
Demikian juga halnya dengan perkembangan fisik yang terlalu cepat atau terlambat dari ukuran anak-anak seusianya akan dapat mempengaruhi perilaku anak belajar diantara sebayanya. Masa pubertas berhubungan dengan perubahan hormon di dalam diri individu yang berakibat pada perubahan fungsi-fungsi fisiologis. Akibatnya para siswa di usia pubertas sering mengalami gangguan fisik dalam belajar. Misalnya, perubahan bentuk dan berat badan, suara yang membesar, gerakan fisik yang semakin lamban, mudah mengantuk, perasaan tidak nyaman ketika mengalami haid, semua ini memberi pengaruh terhadap suasana belajar siswa. Guru perlu menyadari bahwa keadaan fisik dan semua perubahan-perubahan yang dialami siswa dalam proses perkembangannya mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh karena itu guru perlu memberi informasi kepada siswa tentang hal ini sehingga mereka dapat memahaminya secara benar dan siap secara mental menghadapinya. Sejalan dengan ini guru juga perlu memperhatikan keadaan fisik ini dalam manajemen kelas. Dengan cara ini faktor-faktor fisik yang kemungkinan akan menghambat proses belajar siswa dapat dikendalikan sehingga tidak sampai berpengaruh secara meluas.
Implementasi dalam PBM
Menempatkan anak didik yang fisiknya kecil di bangku paling depan.
Menempatkan anak didik yang pendengarannya kurang di bangku paling depan.
Menempatkan anak didik yang penglihatannya kurang di bangku paling depan.
Memberikan pertanyaan mendadak kepada siswa yang mengantuk.
Memberi perlakuan yang sama kepada semua anak didik, tidak terkecuali anak didik yang fisiknya kurang.
Memberi informasi kepada anak didik tentang gangguan fisik yang sering terjadi pada masa usia pubertas mereka sehingga mereka dapat memahaminya secara benar dan siap secara mental menghadapinya.
Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif adalah proses perubahan kemampuan individu dalam berpikir. Membahas tentang perkembangan kognitif berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berpikir atau proses kognisi atau proses mengetahui. Dalam psikologi, proses mengetahui dipelajari dalam bidang psikologi kognitif. Bidang ini dipelopori oleh J.J. Piaget, yang terkenal dengan teori pentahapan kognitifnya yang disebut perkembangan kognitif.
Berdasarkan akar teoritis yang dibangun oleh Piaget, beberapa penulis mendefinisikan kognitif dengan redaksi yang berbeda-beda, namun pada dasarnya sama, yaitu aktivitas mental dalam mengenal dan mengetahui tentang dunia. Neisser (1967) dalam Morgan, et al. (1986), mendefinisikan kognitif sebagai proses berpikir dimana informasi dari panca indera ditransformasi, direduksi, dielaborasi, diperbaiki, dan digunakan. Secara ringkas, Morgan, dkk.. (1986) menyatakan bahwa kognitif sebagai pemrosesan informasi tentang lingkungan yang dipersepsikan melalui panca indera. Menurut Santrock (1986), kognitif mengacu kepada aktivitas mental tentang bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, disimpan dan ditransformasi, serta dipanggil kembali dan digunakan dalam aktivitas kompleks seperti berpikir.
Piaget mengatakan bahwa untuk memahami dunianya secara kognitif individu akan mengelompokkan perilaku yang terpisah ke dalam sistem kognitif yang lebih tertib dan lancar, pengelompokan atau penataan perilaku ke dalam kategori-kategori. Proses mental ini disebut dengan Organisasi. Penggunaan Organisasi akan dapat meningkatkan memori jangka panjang. Mekanisme bagaimana individu bergerak dari satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya disebut Ekuilibrium. Pergeseran ini terjadi saat individu mengalami kognitif disekuilibrium dalam usahanya untuk memahami dunianya. Pada akhirnya, individu memecahkan konflik dan mendapatkan keseimbangan pemikiran.
Perkembangan kognitif berlangsung dalam urutan empat tahap yaitu tahap sensori motor, tahap oprasional, tahap oprasional kongret, oprasional formal. Tahapan-tahapan perkembangan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
Periode Sensorimotor (Usia 0–2 Tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai.
Periode Pra-Operasional (Usia 2–7 Tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran (Pra)Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.
Periode Operasional Konkrit (Usia 7–11 Tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:
Pengurutan : kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.
Klasifikasi : kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan)
Decentering : anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi.
Reversibility : anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi : memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme : kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Ujang.
Perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
Sub-tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
Periode Operasional Formal (Usia 11 Tahun Sampai Dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Implementasi terhadap PBM:
Bahasa dan cara pandang anak berbeda dengan orang dewasa. Untuk itu, dalam mengajar guru alangkah baiknya menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.
Peserta didik akan belajar lebih baik apabila dapat menyesuaikan lingkungan dengan baik. Pendidik harus membantu agar peserta didik dapat berinteraksi dengan lingkungan secara optimal.
Materi yang harus dipelajari peserta didik sebaiknya yang menurut mereka baru tapi tidak begitu sulit untuk menerimanya.
Memberi peluang agar peserta didik dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
Perkembangan Sosio-Emosional
Salah satu perkembangan yang dialami individu adalah perkembangan sosio-emosi. Hal tersebut muncul seiring dengan berjalannya waktu dan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh individu. Dalam perkembangan sosio-emosi, khususnya pada masa bayi, memiliki hubungan dengan perihal keterikatan (attachment), peran ayah sebagai pengasuh anak, tempat pengasuhan anak (day care), dan emosi.
Teori yang cukup komprehensif membahas konteks sosial dimana anak berkembang dan perubahan utama dalam perkembangan sosioemosional merupakan dua teori kontemprorer yang akan dibahas berikut ini.
Teori Ekologi Bronfenbrenner
Teori ini dikembangkan Bronfenbrenner (1917-2000) yang mengemukakan lima sistem lingkungan yang merentang interaksi interpersonal sampai kepada kultur yang lebih luas. Sistem tersebut adalah:
Mikrosistem adalah dimana individu menghabiskan waktu paling banyak seperti keluarga, tetangga, guru, teman sebaya dan orang lain.
Mesosistem adalah kaitan antar sistem. Contohnya adalah hubungan antara pengalaman di rumah dengan pengalaman di sekolah.
Ekosistem adalah sistem yang terjadi ketika pengalaman di setting lain (murid tidak aktif) mempengaruhi pengalaman siswa dan guru dalam konteks mereka sendiri.
Makrosistem adalah kultur yang lebih luas, mencakup etnis, adat istiadat, faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak.
Kronosistem adalah kondisi sosiohistoris dari perkembangan anak. Sekarang ini merupakan generasi pertama yang tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi dengan computer dan di dalam kota yang semrawut yang tidak kenal batas desa dan kota.
Oleh karena itu dalam mendidik anak perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
Pandanglah anak sebagai sosok yang terlibat dalam berbagai sistem lingkungan dan dipengaruhi oleh sistem itu.
Jalin hubungan sekolah dengan masyarakat baik melalui saluran formal dan informal.
Sadari arti penting komunitas, status sosioekonomi dan kultur dalam perkembangan anak karena konteks yang sangat luas ini mempengaruhi perkembangan anak.
Teori Perkembangan Rentang Hidup Erikson
Menurut Erikson delapan tahapan perkembangan yang harus dilalui seseorang dalam rentang hidupnya adalah sebagai berikut:
Tahap psikososial yaitu kepercayaan versus ketidak percayaan (trust and mistrust) masa bayi usia 0- 2 tahun. Erikson mengartikan masa itu anak semestinya dapat mengembangkan perasaan percaya atau perasaan aman bersama pengasuhnya. Yang penting adalah anak harus melalui tingkat berkembangnya lebih lancar.
Tahap autonomy and shame (kemandirian dan rasa malu) masa usia 2- 3 tahun. Pada usia ini anak mencoba untuk mandiri secara fisik yang memungkinkan kemampuan mereka untuk berjalan, lari tanpa dibantu orang lain lagi. Pada periode inilah kemampuan anak untuk percaya diri dikembangkan, ada rasa malu karena mereka merasa tidak mampu. Dalam hal ini orang tua perlu terus menggugah rasa percaya diri anak bahwa mereka dapat dan boleh menentukan hidup mereka sendiri tanpa tekanan
Tahap inisiatif and guilt (rasa bersalah) masa usia 3- 6 tahun. Pada masa ini anak belajar berekspresi, belajar menertawakan diri, mulai memahami bahwa ada pribadi lain selain dirinya. Pada masa ini terletak dasar dalam diri anak untuk menjadi kreatif yang akan menjadi sangat penting pada masa berikutnya. Pada fase ini yang harus diciptakan yaitu identitas diri terutama berhubungan dengan jenis kelamin mereka karena pengaruh kelamin mulai dirasakan secara psikologis. A sense of purpose menurut Erikson anak menjadi tidak terganggu dengan perasaan bersalah. Anak dapat menentukan apakah mereka akan menjadi seperti ayah atau ibu tanpa perasaan bersalah dan anak tidak akan mengalami banyak kegelisahan karena meresa tidak dimengerti.
Tahap mastery and inferiority (penguasaan dan rendah diri) masa usia 6- 12 tahun. Pada masa inilah mereka baru mulai mampu berkomunikasi dengan anak lain sehingga mereka mulai dapat membentuk kelompok. Pada usia ini anak-anak sangat tertarik untuk belajar dan sangat sulit untuk berdiam diri. Anak yang melalui masa perkembangan ini dengan baik akhirnya anak akan memperoleh pelajaran dengan mendapatkan sense of mastery, suatu keyakinan bahwa mereka mampu menguasai masalah yang mereka hadapi. Anak-anak yang kehilangan kesempatan mengembangkan kompetensi mereka maka sense of mastery diganti oleh rasa rendah diri yang berdampak pda masa yang akan datang. Anak yang penuh rendah diri lebih sulit merasakan adanya kemampuan untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang yang penting.
Tahap ego- identity vs role confussion (identitas diri vs kekacauan peran) masa remaja 12- 18/20 tahun. Masa ini adalah sumber utama untuk mengembangkan teori perkembangan psikososialnya. Pada masa ini yang terpenting adalah puncak dari semua yang selama ini dilalui dan akan digunakan untuk mengarungi hidup yaitu menciptakan identitas diri yang benar adalah mengumpulkan semua pengetahuan yang dikumpulkan sampai saat ini dan menggabungkan semuanya menjadi suatu citra diri yang berguna bagi masyarakat. Salah satu faktor penting yang akan menentukan identitas diri adalah hadirnya Role Model yaitu seseorang yang bisa dijadikan contoh. Faktor penting lainnya adanya kejelasan bagaimana melangkah meninggalkan masa kanak-kanak menuju kedewasaan.
Tahap intimacy and isolation (keintiman dan pengasingan) antara masa usia 20- 30 tahun. Pada masa ini sudah dianggap dewasa dan bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan. Pada masa ini mengenal dan mengizinkan untuk mengenal orang lain secara sangat dekat, atau masuk ke hubungan intim sedangkan kegagalan akan membuat terisolasi atau mengisolasi diri dari sekeliling. Keintiman dapat terjadi karena telah mengenal diri dan merasa cukup aman dengan identitas diri yang dimiliki. Jadi, pokoknya Intimacy adalah hubungan dua orang yang sudah matang dan mengenal diri masing-masing dan menciptakan suatu kesatuan yang mengahsilkan karya-karya yang lebih besar.
Perkembangan Sosioemosional
Perkembangan ini berhubungan dengan perkembangan diri, penghargaan diri. Perkembangan ini berhubungan dengan keluarga, teman sebaya, dan sekolah. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa harga diri pada anak adalah dengan menerapkan tiga kunci untuk meningkatkan rasa harga diri yaitu :
Mengidentifikasi penyebab rendah diri dan kompetensi penting bagi diri. Pada anak-anak yang diabaikan keluarga dukungan dari teman dan sekolah untuk meningkatkan kompetensinya akan meningkatkan harga diri anak.
Memberi dukungan emosional dan penerimaan sosial. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang banyak menyalahkan anak, menghina anak, penilaian negative dapat dibantu dengan dukungan emosional ini.
Membantu anak mencapai tujuannya dan berprestasi.
Implementasi terhadap PBM
Pengembangan materi, strategi, sumber, metodologi, dan evaluasi belajar mengajar hendaknya memperhatikan tiga faktor, yaitu faktor pembawaan, lingkungan, dan kematangan.
Perkembangan Moral
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku dimasyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Perkembangan moral menurut pandangan Lawrence Kohlberg adalah sebagai berikut. Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Para pakar perkembangan anak mempelajari tentang bagaimana anak-anak berpikir, berperilaku dan menyadari tentang aturan-aturan tersebut. Minat terhadap bagaimana perkembangan moral yang dialami oleh anak membuat Piaget secara intensif mengobservasi dan melakukan wawancara dengan anak-anak dari usia 4-12 tahun.
Ada dua macam studi yang dilakukan oleh Piaget mengenai perkembangan moral anak dan remaja:
Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng, sambil mempelajari bagaimana mereka bermain dan memikirkan aturan-aturan permainan.
Menanyakan kepada anak-anak pertanyaan tentang aturan-aturan etis, misalnya mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka. Antara lain:
Heteronomous Morality
Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku.
Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah. Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera. Yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis dengan hukuman.
Autonomous Morality
Tahap kedua perkembangan moral menurut teori Piaget, yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun atau lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya.
Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting. Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan anak juga menjadi lebih pintar dalam berpikir tentang persoalan sosial, terutama tentang kemungkinan-kemungkinan dan kerja sama. Pemahaman sosial ini diyakini Piaget terjadi melalui relasi dengan teman sebaya yang saling memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, setiap anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama, merencanakan sesuatu dengan merundingkannya, ketidaksetujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati. Relasi antara orang tua dan anak, orang tua memiliki kekuasaan, sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral, karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter.
Implmentasi terhadap PBM
Perkembangan moral peserta didik dapat dibantu dengan cara mengembangkan dilemma moral. Untuk membangun kerja sama, interaksi saling membantu, memecahkan masalah bersama, dan diperlukan pengembangan kelompok belajar. Pendidik harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan melakukan tanya jawab dan diskusi. Siswa diberikan kesempatan untuk merefleksikan pengalaman-pengalamannya maka peranan guru yaitu menciptakan iklim yang dapat memberi rangsangan maksimal bagi siswa untuk mencapai tahap yang lebih tinggi.
Faktor penting dalam perkembangan moral adalah faktor kognitif terutama kemampuan berpikir abstrak dan luas.
Kesimpulan
Secara garis besar, proses perkembangan individu dapat dikelompokan ke dalam tiga domain; proses biologis, kognitif, dan psikososial dimana ketiga domain proses perkembangan tersebut merupakan satu kesatuan yang terpadu dan saling berpengaruh satu sama lain.
Kondisi panca indra, normalitas anggota tubuh, asupan gizi dan keadaan kesehatan secara menyeluruh mempengaruhi proses belajar. Masa pubertas berhubungan dengan perubahan hormon di dalam diri individu yang berakibat pada perubahan fungsi-fungsi fisiologis. Akibatnya para siswa di usia pubertas sering mengalami gangguan fisik dalam belajar.
Perkembangan kognitif anak dan pengalaman belajar ini sangat erat kaitannya dan saling berpengaruh satu sama lain, yaitu perkembangan kognitif anak akan menfasilitasi atau membatasi kemampuan belajar anak, sebaliknya pengalaman belajar anak akan sangat menfasilitasi perkembangan kognitifnya.
Perkembangan ini berhubungan dengan perkembangan diri, penghargaan diri. Empat kunci untuk meningkatkan rasa harga diri yaitu:
Mengidentifikasi penyebab rendah diri dan kompetensi penting bagi diri.
Memberi dukungan emosional dan penerimaan sosial.
Membantu anak mencapai tujuannya dan berprestasi.
Mengembangkan keterampilan mengatasi masalah.
Dari hasil studi yang telah dilakukan tersebut, Piaget menyimpulkan bahwa anak-anak berpikir dengan 2 cara yang sangat berbeda tentang moralitas, tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, antara lain: Heteronomous Morality dan Autonomous Morality.
Saran
Untuk mengembangkan potensi anak didik dan menciptakan generasi - generasi masa depan yang berkualitas, maka diperlukan adanya pemahaman tentang perkembangan anak didik. Dengan demikian, sebagai pendidik kita diharuskan mengetahui dan memahami perkembangan dari peserta didik.
terima kasih ....kalau ada krm lg teri pieget yg ada kaitannya dg konsep diri
BalasHapus